Mari Membangun Sistem Hukum Yang Terbaik Bagi Bangsa Indonesia Serta Tegakan Hukum Di Bumi Nusantara

Kamis, 01 Juli 2010

PENGARUH PUTUSAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN KEPAILITAN TERHADAP DEBITOR,KREDITOR DAN PEMERINTAH

Oleh: Rahmi Zubaedah S.H dan Faizal S.H.

A. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitor dan Kreditor.

1. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitor

Dengan ditetapkannya PKPU maka selama PKPU berlangsung debitor tanpa persetujuan dari pengurus tidak dapat melakukan tindakan pengurusan atas hartanya dan tidak pula berhak memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya.[1] Apabila debitor melanggar ketentuan ini, pengurus berhak untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan agar tidak terjadi kerugian terhadap harta debitor sebagai akibat tindakan debitor tersebut.[2] Kewajiban-kewajiban debitor yang timbul setelah dimulainya PKPU karena perbuatan debitor yang dilakukan debitor tanpa persetujuan dari pengurus hanya dapat dilaksanakan atas beban harta debitor sepanjang hal demikian itu menguntungkan bagi harta debitor.[3]

Dari yang diuraikan di atas, maka pada intinya debitor kehilangan kebebasannya untuk bertindak berkenaan atau yang berhubungan dengan harta kekayaannya. Setiap perbuatan debitor berkenaan dengan harta kekayaanya harus mendapatkan persetujuan dari pengurus.

2. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Kreditor

PKPU berakibat kreditor tidak dapat memaksa kreditor untuk membayar tagihannya. Selain itu, tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk mendapatkan pelunasan utang harus ditangguhkan. Dasar daripada hal tersebut di atas adalah ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi:

“selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 UU KPKPU, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan.”

B. Akibat Kepailitan Bagi Debitor dan Kreditor

1. Akibat kepailitan bagi Debitor

Putusan dalam keadaan pailit memberi beberapa akibat hukum bagi

debitor sebagai berikut:

a. Akibat kepailitan terhadap kewenangan debitor untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya.

Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya.[4]

b. Akibat Kepailitan terhadap transfer dana

Pasal 24 ayat (3) UU KPKPU mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailit telah dilakukan transfer dana melalui bank atau lembaga selain pada`tanggal putusan dimaksud, transfer tersebut wajib dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kelancaran dan kepastian transfer melalui bank.

a. Akibat kepailitan terhadap perikatan debitor

Apabila setelah debitor dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan debitor tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit.[5]

b. Akibat terhadap hukuman atas debitor

Kemungkinan setelah dinyatakan pailit, debitor mendapatkan hukuman badan yang tidak berkaitan dengan kepailitan. Dalam hal demikian maka penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.[6]

c. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit

Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan kepada debitor pailit, maka hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokan. Jadi mereka yang merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit harus mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokan dalam rapat verifikasi.[7]

d. Akibat hukum terhadap eksekusi

Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mengakibatkan segala penetapan pelaksanaan pengadilan setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk menyandera debitor dan selanjutnya semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahan pencoretan. Sita yang harus dihentikan adalah eksekutoir dan conservatoir beslah. Pengecualian diberikan kepada revindicatoir beslag.

e. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan

Debitor yang sedang dalam penyanderaan untuk membayar utang-utangnya harus dileopaskan seketika setelah pernyataan pailit diucapkan. Adanya ketentuan demikian kadang kala dimanfaatkan oleh debitor untuk mengajukan permohonan pailit. Akan tetapi ketentuan Pasal 93 UU KPKPU mengatur kemungkinan pengadilan dalam putusannya atas saran hakim pengawas atau permintaan curator atau juga permintaan para kreditor memerintahkan untuk dilakukan penahanan terhadap debitor. Penahanan tersebut bukan merupakan penyanderaan melainkan upaya untuk mencegah debitor melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditor.

1. Akibat Kepailitan Bagi Kreditor

Akibat Hukum dari adanya putusan dalam keadaan pailit adalah sebagai berikut:

a. Penangguhan Hak Eksekusi Kreditur Separatis[8]

Kreditor separatis sebagai kreditor yang memiliki jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia dan hak tanggungan pada prinsipnya dapat mengeksekusi haknya seolah-oleh tidak ada kepailitan, akan tetapi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UU KPKPU maka hak eksekusi yang dimaksud di atas ditangguhkan paling lama 90 hari sejak tanggal vonis pailit dijatuhkan. Dalam masa penangguhan tersebut kreditor separatis dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi anggunan. Tujuan dari penangguhan hak eksekusi tersebut antara lain:[9]

1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau

2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau

3) untuk memungkinkan curator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Pasal 56 ayat (3) memberikan Perlindungan bagi kreditor separatis apabila curator menggunakan atau menjual harta pailit. Perlindungan tersebut antara lain dapat berupa:

1) ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

2) hasil penjualan bersih,

3) hak kebendaan pengganti, atau

4) imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai.

Perlindungan tersebut diperlukan karena dengan pengalihan harta pailit maka hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum

.

b. Akibat hukum berkenaan dengan Actio Pauliana

Kreditor sangat berkepentingan dengan harta pailit karena harta tersebut merupakan sumber dari pelunasan tagihan- tagihan mereka. Oleh karena itu mereka memiliki hak untuk mengajukan pembatalan atas perbuatan hukum debitur yang merugikan kepentingan kreditor (Actio Pauliana). Pasal 41 UU KPKPU memberikan perlindungan atas kepentingan kreditur terhadap harta pailit dari perbuatan hukum debitor dengan dapat diajukannya pembatalan perbuatan debitor tersebut kepada pengadilan oleh curator.[10] Tujuannya adalah untuk memperbanyak atau memelihara harta pailit agar para kreditor memperoleh pembayaran secara maksimal sesuai dengan jumlah yang yang dimiliki oleh para kreditor.

c. Akibat hukum berkenaan dengan tuntutan hukum kreditor terhadap debitur yang berkaitan dengan harta kekayaan debitur

Suatu tuntutan hukum yang perkaranya sedang berjalan di Pengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit maka tuntutan tersebut gugur demi hukum. [11] Kreditor hanya dapat mengajukan tuntutan mengenai haknya kepada kurator.[12]. Dalam tuntutan hukum yang telah berjalan sebagaimana dimaksud di atas, apabila dalam tuntutan tersebut dimohonkan sita dan dikabulkan maka sita tersebut dihapuskan.[13]

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan bagi Pemerintah

Dengan adanya putusan PKPU atau dalam keadaan pailit terhadap seorang debitor maka pemerintah terlibat dalam penyelesaian utang-piutang tersebut. Keterlibatan pemerintah itu bertujuan untuk memberikan perlindungan baik terhadap kreditur maupun debitor. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pengaturan PKPU dan kepailitan dalam UU KPKPU.

Keterlibatan pemerintah tersebut terwujud dari peranan hakim pengawas yang besar dalam kepailitan maupun PKPU. Hakim pengawas tersebut bertugas mengawasi penyelesaian utang-piutang dalam kepailitan dan PKPU. Kekuasaan hakim pengawas yang besar tersebut terlihat dari adanya penetapan-penetapan hakim pengawas yang tidak dapat diajukan permohonan banding. Penetapan-penetapan tersebut adalah sebagai berikut:[14]

a. Pasal 22 huruf b UU KPKPU yaitu penetapan tentang segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, itu semua tidak boleh masuk budel pailit, atau tidak termasuk yang disita;

b. Pasal 33 UU KPKPU mengenai penjualan benda milik Debitor sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan;

c. Pasal 84 ayat (3) UU KPKPU mengenai penetapan pendapat kreditor;

d. Pasal 104 ayat (2) UU KPKPU mengenai penetapan tentang izin melanjutkan usaha bagi Debitor Pailit;

e. Pasal 106 UU KPKPU yaitu penetapan tentang biaya hidup bagi debitor pailit dan keluarganya;

f. Pasal 125 ayat (1) UU KPKPU yaitu penetapan tentang pengucapan sumpah oleh kreditor atau wakilnya;

g. Pasal 127 ayat (1) UUKPKPU yaitu mengenai penetapan untuk menyelesaikan perselisihan antara curator dan kreditor di pengadilan;

h. Pasal 183 ayat (1) UU KPKPU yaitu mengenai penetapan penghentian kegiatan Debitor;

i. Pasal 184 ayat (3) UU KPKPU yaitu mengenai penetapan pemberian beberapa peralatan kepada debitor pailit;

j. Pasal 185 ayat (1) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penjualan semua benda di muka;

k. Pasal 185 ayat (2) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penjualan di bawah tangan;

l. Pasal 185 ayat (3) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang semua benda yang tidak segera, atau sama sekali tidak dapat dibereskan;

m. Pasal 186 UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penggunaan jasa Debitor pailit untuk keperluan pemberesan harta pailit, dengan pemberian upah kepada Debitor yang bersangkutan;

n. Pasal 188 UU KPKPU, yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penetapan uang tunai dibagikan kepada kreditor yang piutangnya telah dicocokan;

o. Pasal 189 UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang Daftar Pembagian yang dibuat oleh Kurator.

Dalam PKPU, kewenangan Hakim Pengawas tersebut salah satunya adalah kewenangan untuk meminta pengakhiran PKPU dengan syarat yang disebutkan pada Pasal 255 UU KPKPU.


[1] Harap dilihat Pasal 240 ayat (1)UUKPKPU

[2] Harap dilihat Pasal 240 ayat (2) UUKPKPU.

[3] Harap dilihat Pasal 240 ayat (4) UUKPKPU

[4] Harap dilihat Pasal 24 UU KPKPU

[5] Harap dilihat Pasal 25 UUKPKPU

[6] Harap dilihat Pasal 26 ayat (2) UUKPKPU

[7] Harap lihat Pasal 27 UU KPKPU

[8] Kreditur separatis adalah kreditur yang memegang jaminan hak kebendaan seperti gadai, fidusia, dan hak tanggungan.

[9] Dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 56 ayat (1).

[10] Salah satu perbedaan Actio Pauliana yang diatur dalam KUH Perdata dan UU KPKPU adalah mengenai pihak yang dapat mengajukan tuntutan pembatalan tersebut. Dalam KUH Perdata, yang dapat mengajukan pembatalan adalah kreditor sedangkan dalam UU KPKPU, kuratorlah yang dapat mengajukan pembatalan tersebut untuk kepentingan harta pailit.

[11] Harap dilihat Pasal 29 UU KPKPU.

[12] Harap dilihat Pasal 26 ayat (1).

[13] Harap dilihat Pasal 31 ayat (2).

[14] Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 140.

Minggu, 20 Juni 2010

KONSEKUENSI KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMBIAYAAN TERHADAP PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

KONSEKUENSI KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMBIAYAAN TERHADAP PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

Oleh : Faizal

(dilarang mengutip tanpa menyebutkan sumbernya)

A. Konsekuensi keberadaan peraturan perundang-undangan di Bidang Pembiayaan Terhadap Pelaksanaan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Pembiayaan

Perjanjian sewa guna usaha (leasing), Anjak Piutang (Factoring), Modal Ventura dan pembiayaan konsumen sebagai perjanjian pembiayaan merupakan perjanjian yang berkembang dalam masyarakat. Perjanjian tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan yang mana tidak dapat dipenuhi oleh perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUH Perdata. Perjanjian pembiayaan sebagaimana disebutkan di atas muncul sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian di Indonesia serta keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagai asas yang berlaku universal.

Penerimaan sistem terbuka dalam hukum perjanjian dapat bermakna sebagai suatu pemberian kesempatan bagi pembuat perjanjian untuk menentukan sendiri aturan-aturan atau ketentuan hukum yang berlaku untuk perjanjian-perjanjian yang dibuatnya.[1] Adapun berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka secara prinsip para pihak mendapatkan kebebasan dalam membuat perjanjian. Kebebasan tersebut terdiri dari kebebsan untuk Memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian, memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian, menentukan bentuk perjanjian, menentukan isi perjanjian dan menentukan cara membuat perjanjian.[2] Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka para pihak harus dalam keadaan bebas untuk membuat perjanjian sebagaimana pendapat Ewan Mckendrick bahwa:[3]

“Parties should be as free as possible to make agreement on their own terms without the interference of court or parliament and their agreement should be respected upheld and enforced by courts.”

Walaupun demikian KUH Perdata sebagai kitab yang memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian di Indonesia membatasi berlakunya asas kebebasan berkontrak. Pembatasan dilakukan melalui Pasal 1338 ayat (1) KUH perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap pihak bebas membuat perjanjian mengenai apapun dan dalam bentuk apapun selama perjanjian tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata baik syarat subjektif maupun syarat objektif.

Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata merupakan ketentuan yang besifat memaksa (dwingend recht/ mandatory law) yang mana para pihak harus mentaati ketentuan tersebut agar perjanjianny dapat berlaku. Sebagaimana sesuai dengan tujuan hukum yang utama yaitu ketertiban, maka dengan adanya ketentuan Pasal 1320 KUH perdata yang memaksa maka diharapkan tercipta ketertiban para pihak dalam membuat perjanjian.

Sebab atau kausa yang halal sebagai syarat objektif sahnya perjanjian berfungsi sebagai pengontrol terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Adapun yang dimaksud kausa yang halal dapat diketahui melalui penemuam hukum secara argumentum a contrario terhadap ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut yang termasuk sebab yang tidak halal atau terlarang adalah apabila bertentangan atau dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan baik. Sehingga dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud kausa atau sebab yang halal adalah kausa yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum. Untuk memenuhi syarat ke-empat tersebut, maka isi dari perjanjian para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum.Hal tersebut berlaku bagi semua perjanjian termasuk perjanjian pembiayaan.

Dalam perjanjian pembiayaan baik sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura maupun pembiayaan konsumen, para pihak harus memperhatikan agar syarat sahnya perjanjian terpenuhi karena dengan demikian perjanjian tersebut dapat berlaku dan mengikat kedua pihak. Salah satu yang perlu di perhatikan adalah adanya peraturan perundang-undangan berkenaan dengan kegiatan pembiayaan. Walaupun sebagian besar isi dari peraturan perundang-undangan tersebut bersifat adminsitratif yaitu berkenaan dengan tata cara pendirian dan perizinan perusahaan pembiayaan serta berkenaan dengan pengenaan pajak atas kegiatan pembiayaan akan tetapi ternyata dalam terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai materi perjanjian pembiayaan selain itu terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan daya ikat perjanjian pembiayaan tersebut. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/kmk.013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang membatasi penyertaan modal pada perusahaan patungan selama sepuluh tahun.

2. Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan No. 634/ kmk.013/1990 Tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang membatasi jangka waktu perjanjian leasing atas pengadaan barang modal berfasilitas sekurang-kurangnya 3 tahun;

3. Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Kuangan No. 1169/ 1251/ kmk.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang melarang lessee manyewagunausahakan kembali barang-barang modal yang disewa guna usaha kepada pihak lain.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa agar suatu perjanjian termasuk pula dalam hal ini perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian yang berkembang di masyarakat mengikat maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Adapun salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kausa yang halal yang mana salah satunya adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.

Walaupun dalam Pasal 1337 disebutkan undang-undang, akan tetapi menurut penulis hal tersebut dapat pula diberlakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah seperti keputusan menteri keuangan apabila yang ada adalah peraturan perundang-undangan dimaksud. Dengan demikian maka perjanjian pembiayaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas.

Sebagai contoh adalah bahwa dalam perjanjian leasing dilarang dimuat klausul bahwa lesse diperkenankan untuk menyewagunausahakan objek leasing kepada pihak lain. Contoh lainnya adalah klausul dalam perjanjian modal ventura tidak boleh memuat ketentuan bahwa jangka waktu penyertaan modal dari perusahaan modal ventura dalam lebih dari sepuluh tahun. Apabila ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundag-undangan yang menyangkut isi perjanjjian pembiayaan tersebut dilanggar maka perjanjian pembiayaan tersebut batal demi hukum karena kausa yang halal sebagai syarat objektif sahnya perjanjian cacat.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan berkenaan kegiatan pembiayaan berkedudukan sebagai pedoman penyusunan perjanjian antara pihak-pihak dalam perjanjian pembiayaan. Selain itu pengaturan tersebut merupakan kontrol pemerintah terhadap perjanjian pembiayaan agar kegiatan pembiayaan terarah dan tertib dan sesuai dengan tujuan pemerintah dalam bidang perekonomian dengan membatasi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

B. Perlindungan terhadap pihak yang dirugikan sebagai akibat dari perjanjian pembiayaan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan

Sebagaiamana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa agar suatu perjanjian pembiayaan mengikat dan berlaku, maka seperti pada jenis perjanjian lainnya, perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Berkenaan dengan kausa yang halal, maka perjanjian pembiayaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.

Apabila isi suatu perjanjian pembiayaan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kegiatan pembiayaan maka perjanjian tersebut cacat syarat objektif karena adanya kausa yang tidak halal atau terlarang berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata. Akibat dari cacat syarat objektif ini adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum.[4] Perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 KUH perdata yang berbunyi:

“ Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Selain itu suatu perjanjian pembiayaan yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dikatakan illegal. Hal ini senada dengan pendapat Ewan Mckendrick yaitu:[5]

“a contract is illegal if it’s formation is expressly or implied prohibited by statue”

Terhadap perjanjian demikian maka pengadilan tidak akan menegakan atau menguatkannya.[6]

Konsekuensi selanjutnya dari batal demi hukum suatu perjanjian pembiayaan maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak harus mengembalikan kepada keadaan semula. Hal demikian berarti penerima pembiayaan harus mengembalikan seluruh pembiayaan yang telah diterima dari perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan harus mengembalikan seluruh uang yang diterimanya dari penerima pembiayaan.

Hal ini tentu dapat merugikan dan memberatkan penerima pembiayaan yang “tidak bersalah” karena hal ini akan mengganggu kegiatan usaha atau pemenuhan kebutuhannya. “Tidak bersalah” dalam hal ini maksudnya adalah pelanggaran tersebut dilakukan oleh perusahaan pembiayaan dan atau ketidaktahuan penerima pembiayaan akan adanya peraturan perundang-undangan yang melarang perjanjian atau klausul-klausul tertentu dari perjanjian tersebut.[7]

Misalnya apabila suatu perjanjian leasing dinyatakan batal demi hukum, maka sebagai konsekuensi dari putusan hakim tersebut barang-barang modal yang sedang digunakan oleh lesse ditarik oleh lessor. Walaupun lesse akan mendapatkan kembali dana yang telah dibayarkannya sebagai lease payment tentunya hal ini akan mengganggu kegiatan usaha lesse karena ia harus mendapatkan pembiayaan dari pihak lain yang mana proses tersebut akan memakan waktu dan biaya serta dapat mengakibatkan kerugian karena kegiatan usaha terhenti sebagai akibat tidak adanya barang modal.

Dengan demikian maka walaupun perjanjian pembiayaan dengan kausa tidak halal tersebut dinyatakan batal demi hukum, tetapi pihak yang tidak bersalah harus dilindungi dari kerugian. Perlindungan tersebut misalnya berupa ganti kerugian dari pihak yang dinyatakan bersalah atau berupa penangguhan pengembalian kepada kondisi semula hingga pihak yang tidak bersalah mendapatkan pembiayaan dari pihak lain.



[1] Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Penerbit Universitas Atmajaya Jogjakarta, Jogjakarta, 2008, hlm. 7.

[2] Hal ini merupakan penafsiran yang semakin meluas dari kebebsan para pihak berkenaan dengan perjanjian sebagaimana dapat dilihat dalam Lastuti Abubakar, Transaksi Drivativ di Indonesia, Loc.cit

[3] Ewan Mckendrick.,Op.cit., hlm.1.

[4] Salah satu contoh kasus yang mana pihak penggugat meminta agar perjanjian yang dibuatnya dinyatakan batalnya demi hukum adalah kasus PT. Tripolyta Tbk pada tahun 2008. Penggugat meminta agar perjanjiann yang dibuatnya batal demi hukum karena perjanjian tersebut mengandung unsure trusts yang tidak dikenal bahkan bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia yang tidak mengakui dualisme kepemilikan yaitu legal owner dan beneficial owner. Dapat dilihat pada Gunawan Widjaja, Transplantasi Trusts dalam KUH perdata, KUHD dan UU Pasar Modal Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.

[5] Ewan Mckendrick,Op.cit., hlm. 20.

[6] “As a general rule the courts will not enforce a contract which is illegal or which is otherwise contrary to public policy”, Ibid, hlm. 197

[7] Pelanggaran oleh perusahaan pembiayaan misalnya adalah apabila ternyata perusahaan pembiayaan tersebut tidak memiliki izin usaha dari menteri sebagaimana diwajibkan Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/kmk.013/1988, sedangkan ketidaktahuan penerima pembiayaan misalnya adalah dikarenakan perjanjian pembiayaan di antara perusahaan pembiayaan dan penerima pembiayaan merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar.