Mari Membangun Sistem Hukum Yang Terbaik Bagi Bangsa Indonesia Serta Tegakan Hukum Di Bumi Nusantara

Minggu, 20 Juni 2010

KONSEKUENSI KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMBIAYAAN TERHADAP PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

KONSEKUENSI KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMBIAYAAN TERHADAP PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

Oleh : Faizal

(dilarang mengutip tanpa menyebutkan sumbernya)

A. Konsekuensi keberadaan peraturan perundang-undangan di Bidang Pembiayaan Terhadap Pelaksanaan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Pembiayaan

Perjanjian sewa guna usaha (leasing), Anjak Piutang (Factoring), Modal Ventura dan pembiayaan konsumen sebagai perjanjian pembiayaan merupakan perjanjian yang berkembang dalam masyarakat. Perjanjian tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan yang mana tidak dapat dipenuhi oleh perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUH Perdata. Perjanjian pembiayaan sebagaimana disebutkan di atas muncul sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian di Indonesia serta keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagai asas yang berlaku universal.

Penerimaan sistem terbuka dalam hukum perjanjian dapat bermakna sebagai suatu pemberian kesempatan bagi pembuat perjanjian untuk menentukan sendiri aturan-aturan atau ketentuan hukum yang berlaku untuk perjanjian-perjanjian yang dibuatnya.[1] Adapun berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka secara prinsip para pihak mendapatkan kebebasan dalam membuat perjanjian. Kebebasan tersebut terdiri dari kebebsan untuk Memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian, memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian, menentukan bentuk perjanjian, menentukan isi perjanjian dan menentukan cara membuat perjanjian.[2] Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka para pihak harus dalam keadaan bebas untuk membuat perjanjian sebagaimana pendapat Ewan Mckendrick bahwa:[3]

“Parties should be as free as possible to make agreement on their own terms without the interference of court or parliament and their agreement should be respected upheld and enforced by courts.”

Walaupun demikian KUH Perdata sebagai kitab yang memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian di Indonesia membatasi berlakunya asas kebebasan berkontrak. Pembatasan dilakukan melalui Pasal 1338 ayat (1) KUH perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap pihak bebas membuat perjanjian mengenai apapun dan dalam bentuk apapun selama perjanjian tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata baik syarat subjektif maupun syarat objektif.

Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata merupakan ketentuan yang besifat memaksa (dwingend recht/ mandatory law) yang mana para pihak harus mentaati ketentuan tersebut agar perjanjianny dapat berlaku. Sebagaimana sesuai dengan tujuan hukum yang utama yaitu ketertiban, maka dengan adanya ketentuan Pasal 1320 KUH perdata yang memaksa maka diharapkan tercipta ketertiban para pihak dalam membuat perjanjian.

Sebab atau kausa yang halal sebagai syarat objektif sahnya perjanjian berfungsi sebagai pengontrol terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Adapun yang dimaksud kausa yang halal dapat diketahui melalui penemuam hukum secara argumentum a contrario terhadap ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut yang termasuk sebab yang tidak halal atau terlarang adalah apabila bertentangan atau dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan baik. Sehingga dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud kausa atau sebab yang halal adalah kausa yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum. Untuk memenuhi syarat ke-empat tersebut, maka isi dari perjanjian para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum.Hal tersebut berlaku bagi semua perjanjian termasuk perjanjian pembiayaan.

Dalam perjanjian pembiayaan baik sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura maupun pembiayaan konsumen, para pihak harus memperhatikan agar syarat sahnya perjanjian terpenuhi karena dengan demikian perjanjian tersebut dapat berlaku dan mengikat kedua pihak. Salah satu yang perlu di perhatikan adalah adanya peraturan perundang-undangan berkenaan dengan kegiatan pembiayaan. Walaupun sebagian besar isi dari peraturan perundang-undangan tersebut bersifat adminsitratif yaitu berkenaan dengan tata cara pendirian dan perizinan perusahaan pembiayaan serta berkenaan dengan pengenaan pajak atas kegiatan pembiayaan akan tetapi ternyata dalam terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai materi perjanjian pembiayaan selain itu terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan daya ikat perjanjian pembiayaan tersebut. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/kmk.013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang membatasi penyertaan modal pada perusahaan patungan selama sepuluh tahun.

2. Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan No. 634/ kmk.013/1990 Tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang membatasi jangka waktu perjanjian leasing atas pengadaan barang modal berfasilitas sekurang-kurangnya 3 tahun;

3. Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Kuangan No. 1169/ 1251/ kmk.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang melarang lessee manyewagunausahakan kembali barang-barang modal yang disewa guna usaha kepada pihak lain.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa agar suatu perjanjian termasuk pula dalam hal ini perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian yang berkembang di masyarakat mengikat maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Adapun salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kausa yang halal yang mana salah satunya adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.

Walaupun dalam Pasal 1337 disebutkan undang-undang, akan tetapi menurut penulis hal tersebut dapat pula diberlakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah seperti keputusan menteri keuangan apabila yang ada adalah peraturan perundang-undangan dimaksud. Dengan demikian maka perjanjian pembiayaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas.

Sebagai contoh adalah bahwa dalam perjanjian leasing dilarang dimuat klausul bahwa lesse diperkenankan untuk menyewagunausahakan objek leasing kepada pihak lain. Contoh lainnya adalah klausul dalam perjanjian modal ventura tidak boleh memuat ketentuan bahwa jangka waktu penyertaan modal dari perusahaan modal ventura dalam lebih dari sepuluh tahun. Apabila ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundag-undangan yang menyangkut isi perjanjjian pembiayaan tersebut dilanggar maka perjanjian pembiayaan tersebut batal demi hukum karena kausa yang halal sebagai syarat objektif sahnya perjanjian cacat.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan berkenaan kegiatan pembiayaan berkedudukan sebagai pedoman penyusunan perjanjian antara pihak-pihak dalam perjanjian pembiayaan. Selain itu pengaturan tersebut merupakan kontrol pemerintah terhadap perjanjian pembiayaan agar kegiatan pembiayaan terarah dan tertib dan sesuai dengan tujuan pemerintah dalam bidang perekonomian dengan membatasi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak.

B. Perlindungan terhadap pihak yang dirugikan sebagai akibat dari perjanjian pembiayaan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan

Sebagaiamana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa agar suatu perjanjian pembiayaan mengikat dan berlaku, maka seperti pada jenis perjanjian lainnya, perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Berkenaan dengan kausa yang halal, maka perjanjian pembiayaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.

Apabila isi suatu perjanjian pembiayaan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kegiatan pembiayaan maka perjanjian tersebut cacat syarat objektif karena adanya kausa yang tidak halal atau terlarang berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata. Akibat dari cacat syarat objektif ini adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum.[4] Perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 KUH perdata yang berbunyi:

“ Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Selain itu suatu perjanjian pembiayaan yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dikatakan illegal. Hal ini senada dengan pendapat Ewan Mckendrick yaitu:[5]

“a contract is illegal if it’s formation is expressly or implied prohibited by statue”

Terhadap perjanjian demikian maka pengadilan tidak akan menegakan atau menguatkannya.[6]

Konsekuensi selanjutnya dari batal demi hukum suatu perjanjian pembiayaan maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak harus mengembalikan kepada keadaan semula. Hal demikian berarti penerima pembiayaan harus mengembalikan seluruh pembiayaan yang telah diterima dari perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan harus mengembalikan seluruh uang yang diterimanya dari penerima pembiayaan.

Hal ini tentu dapat merugikan dan memberatkan penerima pembiayaan yang “tidak bersalah” karena hal ini akan mengganggu kegiatan usaha atau pemenuhan kebutuhannya. “Tidak bersalah” dalam hal ini maksudnya adalah pelanggaran tersebut dilakukan oleh perusahaan pembiayaan dan atau ketidaktahuan penerima pembiayaan akan adanya peraturan perundang-undangan yang melarang perjanjian atau klausul-klausul tertentu dari perjanjian tersebut.[7]

Misalnya apabila suatu perjanjian leasing dinyatakan batal demi hukum, maka sebagai konsekuensi dari putusan hakim tersebut barang-barang modal yang sedang digunakan oleh lesse ditarik oleh lessor. Walaupun lesse akan mendapatkan kembali dana yang telah dibayarkannya sebagai lease payment tentunya hal ini akan mengganggu kegiatan usaha lesse karena ia harus mendapatkan pembiayaan dari pihak lain yang mana proses tersebut akan memakan waktu dan biaya serta dapat mengakibatkan kerugian karena kegiatan usaha terhenti sebagai akibat tidak adanya barang modal.

Dengan demikian maka walaupun perjanjian pembiayaan dengan kausa tidak halal tersebut dinyatakan batal demi hukum, tetapi pihak yang tidak bersalah harus dilindungi dari kerugian. Perlindungan tersebut misalnya berupa ganti kerugian dari pihak yang dinyatakan bersalah atau berupa penangguhan pengembalian kepada kondisi semula hingga pihak yang tidak bersalah mendapatkan pembiayaan dari pihak lain.



[1] Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Penerbit Universitas Atmajaya Jogjakarta, Jogjakarta, 2008, hlm. 7.

[2] Hal ini merupakan penafsiran yang semakin meluas dari kebebsan para pihak berkenaan dengan perjanjian sebagaimana dapat dilihat dalam Lastuti Abubakar, Transaksi Drivativ di Indonesia, Loc.cit

[3] Ewan Mckendrick.,Op.cit., hlm.1.

[4] Salah satu contoh kasus yang mana pihak penggugat meminta agar perjanjian yang dibuatnya dinyatakan batalnya demi hukum adalah kasus PT. Tripolyta Tbk pada tahun 2008. Penggugat meminta agar perjanjiann yang dibuatnya batal demi hukum karena perjanjian tersebut mengandung unsure trusts yang tidak dikenal bahkan bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia yang tidak mengakui dualisme kepemilikan yaitu legal owner dan beneficial owner. Dapat dilihat pada Gunawan Widjaja, Transplantasi Trusts dalam KUH perdata, KUHD dan UU Pasar Modal Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.

[5] Ewan Mckendrick,Op.cit., hlm. 20.

[6] “As a general rule the courts will not enforce a contract which is illegal or which is otherwise contrary to public policy”, Ibid, hlm. 197

[7] Pelanggaran oleh perusahaan pembiayaan misalnya adalah apabila ternyata perusahaan pembiayaan tersebut tidak memiliki izin usaha dari menteri sebagaimana diwajibkan Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/kmk.013/1988, sedangkan ketidaktahuan penerima pembiayaan misalnya adalah dikarenakan perjanjian pembiayaan di antara perusahaan pembiayaan dan penerima pembiayaan merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar.

Syarat sahnya perjanjian


SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

oleh:Faizal

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Adapun menurut Sir Willam Anson, perjanjian adalah:[1]

“ a legally binding agreement made between two or more parties, by which rights are acquired by one or more to acts or forbearances on the part of the other or others”

Berdasarkan kedua definisi perjanjian di atas maka dapat disimpulkan bahwa melalui perjanjian maka para pihak bermaksud untuk saling mengikatkan diri yang mana masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan demikian, sebagaimana juga dinyatakan oleh Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian merupakan sumber perikatan di samping undang-undang. Pasal tersebut berbunyi:

“ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”

Untuk dapat mengikat maka suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya perjanjian maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan.[2] Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa di antara para pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak yang artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.[3] Adapun persesuaian kehendak tersebut harus dinyatakan.[4] Pernyataan kehendak dimaksud diperlihatkan dalam bentuk suatu perbuatan. Dalam perjanjian dalam bentuk tertulis, bentuk pernyataan kehendak para pihak diperlihatkan dengan perbuatan menandatangani perjanjian tersebut

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian).[5] Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara syah.[6] Pasal 1330 KUH Perdata menentukan siapa saja yang termasuk pihak yang tidak cakap untuk membuat persetujuan yaitu sebagai berikut:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang, perempuan, yang mana ketentuan ini telah tidak berlaku.

Berdasarkan penafsiran argumentum a contrario terhadap Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat dikatakan bahwa mereka yang cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang telah dewasa yang mana menurut KUH Perdata adalah 21 tahun, kemudian mereka yang tidak ditaruh ditaruh di bawah kemampuan. Selain itu orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian) juga harus tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.[7]

3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian tidak dapat dilakukan tanpa adanya objek yang tertentu.[8] Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.

4. Suatu sebab atau kausa yang halal

Kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa tidask mempunyai hubungan dengan ajaran kausaliteit, selain itu kausa bukan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian karena yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum.[9] Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan sebagai kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian.[10] Hakim dapat menguji apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.[11]Apabila Pasal 1337 KUH Perdata ditafsirkan secara argumentum a contrario dapat diketahui bahwa suatu perjanjian memiliki kausa yang halal apabila perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.

Keempat syarat di atas merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (dwingend recht, mandatory law) yang apabila tidak dipenuhi dapat membuat perjanjian tersebut tidak berlaku.[12] Kedua syarat yang pertama adalah syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif karena mengenai objek perjanjian.[13] Perjanjian yang cacat subjektif dapat dibatalkan dan yang cacat objektif batal demi hukum.[14]



[1] Abdul Kadar (et al), Business and Commercial Law, Butterworth Heinemann Ltd, Oxford, 1993, hlm. 93.

[2] Ahmadi Amiru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 68.

[3] Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. X, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 15.

[4] Ibid, hlm. 18

[5] Ahmadi Amitu dan Sakka Pati, Loc.cit.

[6] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 208.

[7] Ibid, hlm. 45.

[8] Ahmadi Amitu dan Sakka Pati, Loc. cit.

[9] Mariam Darus Badruljaman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 81.

[10] Idem.

[11] Idem.

[12] Lastuti Abubakar, Transaksi Derivativ di Indonesia, Books Terrace &Library, Bandung, 2009, hlm. 66.

[13] Mariam Darus Badruljaman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, op.cit., hlm. 73.

[14] Ibid, hlm. 82.

AKIBAT PERBUATAN-PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN SEBELUM PERESEROAN DIDIRIKAN ATAU MENDAPATKAN STATUS BADAN HUKUM

AKIBAT PERBUATAN-PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN SEBELUM PERESEROAN DIDIRIKAN ATAU MENDAPATKAN STATUS BADAN HUKUM

Oleh: Faizal, S.H.

Dapat saja terjadi sebelum suatu Perseroan Terbatas (PT) didirikan atau mendapatkan status badan hukum, dilakukan perbuatan-perbuatan hukum baik oleh calon pendiri (pada saat PT belum didirikan) maupun oleh pendiri, dewan komisaris dan direksi (pada saat PT telah didirikan tetapi belum mendapatkan status badan hukum). Perbuatan-perbuatan tersebut diantaranya dilakukan dalam rangka:

1. Mendapatkan modal awal untuk melakukan usaha

Perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan modal awal untuk melakukan usaha di antaranya adalah penyetoran nilai saham oleh calon pemegang saham atau calon pendiri sebelum PT didirikan. Hal tersebut dilakukan karena diperlukan dana untuk memulai usaha. Adapun pendirian sedang dalam proses.

2. Mendapatkan kontrak-kontrak penting untuk usaha PT

Suatu PT harus memanfaatkan peluang usaha sebaik-baiknya apabila ingin menjadi perusahaan yang besar dan menguntungkan. Hal itu mengakibatkan suatu PT tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum walaupun PT tersebut belum mendapatkan status badan hukum baik dengan alas an dalam proses pengajuan maupun memang belum diajukan permohonan untuk itu. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut di antaranya adalah membuat perjanjian-perjanjian.

3. Mendanai proses pendirian dan pengajuan permohonan pengesahan badan hukum PT

Proses pendirian dan pengesahan status badan hukum suatu PT tentunya memerlukan dana. Calon pendiri biasanya menggunakan uang pribadinya untuk mendanai proses tersebut.

Akibat perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan sebelum PT didirikan atau mendapatkan status badan hukum terhadap PT dimaksud telah diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Perbuatan-perbuatan hukum tersebut dibagi 2 berdasarkan waktu dilakukan perbuatan tersebut yaitu:

1. Perbuatan hukum yang dilakukan sebelum PT didirikan

Perbuatan dimaksud dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Perbuatan kepemilikan saham oleh calon pendiri

Perbuatan kepemilikan saham oleh calon pendiri sebelum PT didirikan wajib dicantumkan dalam akta pendirian PT. Perbuatan tersebut wajib dituliskan baik dalam akta otentik maupun bukan akta otentik. Apabila berupa akta otentik maka dicantumkan dalam akta pendirian PT disertai penyebutan nomor, nama serta kedudukan notaris yang membuat akta otentik tersebut (Pasal 12 ayat (3) UUPT. Apabila perbuatan kepemilikan saham tersebut dituliskan dalam akta bukan otentik, maka akta tersebut harus dilekatkan dalam akta pendirian PT (Pasal 12 ayat (2)). Konsekuensi dari tidak dilakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana diuraikan di atas mengakibatkan PT tidak terikat serta tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (4) UUPT (PT dan calon pendiri (pendiri setelah PT didirikan)). Dengan kata lain calon pendiri tersebut tidak dapat menuntut hak yang timbul dari perbuatan hukum dimaksud. Walaupun demikian PT tersebut dapat memberikan kepada calon pendiri dimaksud apa yang dianggap haknya, akan tetapi hal tersebut dilakukan secara sukarela tentunya.

b. Perbuatan hukum oleh calon pendiri untuk kepentingan PT

Apabila calon pendiri melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan PT sebelum PT didirikan maka perbuatan hukum tersebut hanya mengikat perseroan dalam hal:

1) Disetujui untuk diambil alih hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum tersebut dalam RUPS pertama setelah PT mendapatkan status badan hukum (jadi bukan pada saat PT telah didirikan). Adapun syarat pengambil alihan hak dan kewajiban tersebut melalui RUPS adalah sebagai berikut:

a) RUPS dilaksanakan maksimal 60 hari setelah PT mendapatkan status badan hukum (Pasal 13 ayat (2));

b) RUPS dihadiri oleh semua pemegang saham dengan hak suara serta disetujui dengan suara bulat (Pasal 13 ayat (3)).

2) Perbuatan hukum salah satu calon pendiri tersebut disetujui oleh semua calon pendiri sewaktu PT belum didirikan. Apabila hal ini dilakukan maka hak dan kewajiban yang timbul beralih kepada PT tanpa memerlukan persetujuan PT sebagaimana di sebutkan di atas (Pasal 13 ayat (5)).

Pasal 13 ayat (4) hanya mengatakan apabila ketentuan Pasal 13 ayat (1),(2),(3) tidak dipenuhi maka calon pendiri tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Menurut penulis, hal tersebut berlaku pula apabila ketentuan Pasal 13 ayat (5) tidak dipenuhi.

2. Perbuatan yang dilakukan setelah PT didirikan akan tetapi belum memperoleh status badan hukum

Apabila suatu PT akan melakukan perbuatan hukum sebelum PT tersebut mendapatkan status badan hukum, maka perbuatan tersebut hanya dapat mengikat PT setelah PT mendapatkan status badan hukum serta apabila perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama oleh Direksi, pendiri, dan dewan komisaris (Pasal 14 ayat ayat (3) jo ayat (1)). Selama PT tersebut belum mendapatkan status badan hukum maka pihak-pihak tersebut di atas bertanggung jawab secara renteng (Pasal 14 ayat 1)).

Apabila perbuatan tersebut dilakukan hanya oleh pendiri maka ia bertanggung jawab secara pribadi kecuali setelah PT tersebut memperoleh status badan hukum, diadakan RUPS yang menyetujui perbuatan tersebut dengan persyaratan:

a. Diadakan maksimal 60 hari sejak PT mendapatkan status badan hukum (Pasal 14 ayat (5))

b. Dihadiri dan disetujui oleh pemegang saham (Pasal 14 ayat (4)).

Maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan hukum tersebut tidak diperlukan persetujuan RUPS apabila dilakukan oleh direksi, dewan komisaris dan pendiri.

Referensi:

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas