Mari Membangun Sistem Hukum Yang Terbaik Bagi Bangsa Indonesia Serta Tegakan Hukum Di Bumi Nusantara

Minggu, 20 Juni 2010

Syarat sahnya perjanjian


SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

oleh:Faizal

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Adapun menurut Sir Willam Anson, perjanjian adalah:[1]

“ a legally binding agreement made between two or more parties, by which rights are acquired by one or more to acts or forbearances on the part of the other or others”

Berdasarkan kedua definisi perjanjian di atas maka dapat disimpulkan bahwa melalui perjanjian maka para pihak bermaksud untuk saling mengikatkan diri yang mana masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan demikian, sebagaimana juga dinyatakan oleh Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian merupakan sumber perikatan di samping undang-undang. Pasal tersebut berbunyi:

“ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”

Untuk dapat mengikat maka suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya perjanjian maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan.[2] Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa di antara para pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak yang artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.[3] Adapun persesuaian kehendak tersebut harus dinyatakan.[4] Pernyataan kehendak dimaksud diperlihatkan dalam bentuk suatu perbuatan. Dalam perjanjian dalam bentuk tertulis, bentuk pernyataan kehendak para pihak diperlihatkan dengan perbuatan menandatangani perjanjian tersebut

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian).[5] Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara syah.[6] Pasal 1330 KUH Perdata menentukan siapa saja yang termasuk pihak yang tidak cakap untuk membuat persetujuan yaitu sebagai berikut:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang, perempuan, yang mana ketentuan ini telah tidak berlaku.

Berdasarkan penafsiran argumentum a contrario terhadap Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat dikatakan bahwa mereka yang cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang telah dewasa yang mana menurut KUH Perdata adalah 21 tahun, kemudian mereka yang tidak ditaruh ditaruh di bawah kemampuan. Selain itu orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian) juga harus tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.[7]

3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian tidak dapat dilakukan tanpa adanya objek yang tertentu.[8] Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.

4. Suatu sebab atau kausa yang halal

Kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa tidask mempunyai hubungan dengan ajaran kausaliteit, selain itu kausa bukan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian karena yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum.[9] Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan sebagai kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian.[10] Hakim dapat menguji apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.[11]Apabila Pasal 1337 KUH Perdata ditafsirkan secara argumentum a contrario dapat diketahui bahwa suatu perjanjian memiliki kausa yang halal apabila perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.

Keempat syarat di atas merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (dwingend recht, mandatory law) yang apabila tidak dipenuhi dapat membuat perjanjian tersebut tidak berlaku.[12] Kedua syarat yang pertama adalah syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif karena mengenai objek perjanjian.[13] Perjanjian yang cacat subjektif dapat dibatalkan dan yang cacat objektif batal demi hukum.[14]



[1] Abdul Kadar (et al), Business and Commercial Law, Butterworth Heinemann Ltd, Oxford, 1993, hlm. 93.

[2] Ahmadi Amiru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 68.

[3] Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. X, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 15.

[4] Ibid, hlm. 18

[5] Ahmadi Amitu dan Sakka Pati, Loc.cit.

[6] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 208.

[7] Ibid, hlm. 45.

[8] Ahmadi Amitu dan Sakka Pati, Loc. cit.

[9] Mariam Darus Badruljaman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 81.

[10] Idem.

[11] Idem.

[12] Lastuti Abubakar, Transaksi Derivativ di Indonesia, Books Terrace &Library, Bandung, 2009, hlm. 66.

[13] Mariam Darus Badruljaman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, op.cit., hlm. 73.

[14] Ibid, hlm. 82.

1 komentar: